Salah satu agenda di acara Mastera Esai 2019 adalah diskusi kelompok yang pesertanya berasal dari beberapa negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Karya masing-masing peserta dikritik dan diberi masukan perbaikan. Bertukar pikiran tentang banyak hal, tersebab perbedaan budaya juga.
Pada dasarnya antara kami tidak banyak perbedaan. Bahasa mungkin sedikit lain, logat dan aksen tetapi induknya sama yaitu Bahasa Melayu. Di masa lalu, kita disatukan dalam Nusantara.
Contohnya Amirul, peserta dari Singapura yang mengaku ini pertama kalinya beliau menulis esai dalam Bahasa Melayu, biasanya dalam Bahasa Inggris. Wajar, karena Singapura mengutamakan Bahasa Inggris, termasuk dalam pengajaran Bahasa Melayu pun pengantarnya adalah Bahasa Inggris.
Saya, mungkin juga Anda beranggapan bahwa Singapura adalah negara maju. Terutama dari segi ekonomi, pertumbuhannya sangat tinggi, pun dalam hal pendidikannya, banyak orang Indonesia yang kuliah di sana. Bahkan kalau ada pejabat atau publik figur sakit keras, berobatnya ya ke Singapura. Enci-engko crazy rich Suroboyo juga mungkin makan siangnya di Singapura.
Namun yang dirasakan Amirul adalah kesedihan. Lho, mengapa? Bukankah dia seharusnya bangga sebagai warga negara Singapura? Yang tidak ada orang buang sampah sembarangan atau melanggar peraturan lalin? Aman, tertib dan maju. Mengapa dia gelisah?
"Sebab budaya Melayu di Singapura jadi terkikis. Perekonomian maju tapi dikuasi etnis Tionghoa. Yang bisa mendapatkan pendidikan high class adalah etnis Tionghoa yang kaya. Warga Melayu hanya masuk kelas menengah."
Lalu bagaimana dengan warga yang benar-benar miskin? Tentu dia tidak ada kesempatan mengenyam pendidikan dan menikmati perekonomian? That is reality. Hanya, pemerintah Singapura tidak memperlihatkan bahwa ada warganya yang miskin. Mereka yang miskin diberikan rumah dengan harga sewa murah. Juga kondisi para pelajarnya, mereka ditekan sedemikian rupa agar mendapat peringkat terbaik di sekolah sehingga bisa masuk ke universitas ternama dan bisa mendapatkan pekerjaan bagus. Orientasinya materi.
Amirul adalah salah satu pemuda yang "out of the box". Beliau peduli pada budaya Melayu dan kritis terhadap fenomena sosial yang ada. Amirul banyak menulis dan senang berdiskusi.
Ada pula Ainunl Muaiyanah, editor dari Malaysia. Ainunl sangat pandai menciptakan kalimat puitik, juga rasa ingin tahunya besar. Beliau senang berdiskusi dan open-minded.
Syawal peserta dari Brunei, mahasiswa Universitas Brunei Darussalam. Di antara kami semua, dialah yang esainya paling panjang dan lengkap dengan catatan-catatan kaki.
Terkadang ada sedikit bahasa yang tidak bisa kami pahami satu sama lain. Seperti gratis ongkos kirim, oh maksudnya free delivery...
Ketika coffee break, kami menikmati kudapan siomay. What is this? Siomay? Yes, you can call it dimsum. Barulah mereka paham. Tapi intinya sama, meski Syawal menganggap kecap dan sambal cabai adalah bumbu rujak. Lalu merek teringat makanan restoran yaitu daging yang empuk sekali. Dimasak dengan cara apa?
Presto. Ah mereka tak paham. Presto teh bahasa naon ya? Namun akhirnya merek memahami panci presto adalah "pressure cooker". Ok, intinya sama. Dan ketika kita mengutamakan inti serta persamaan, kita akan toleransi pada perbedaan. Dan kuliner terbukti lebih cepat menyatukan kita. Betul?
Lembang, 20 Agustus 2019
Suka
BalasHapusTerima kasih
HapusHihi, jadi lapar... aku jadi pengen denger ceritanya lagi. Wkwkwk.
BalasHapusBtw, kamu nggak pake sendal jepit ungu kan? Hihi
Nggak atuh Teh... Pake sepatu akutuh
HapusPengalaman yg buat kaya inspirasi
BalasHapusAlhamdulillah
BalasHapus