Jalan di Perkampungan Baduy Luar |
"Treknya mirip Gunung Lawu." Ujar Frili, mengomentari medan yang kami lalui. Perkampungan dengan rumah yang seragam, dengan jalan naik-turun, jarang landainya. Bahkan yang aku rasakan sih terus mendaki. Berangkat dari Kampung Gajebo pukul 16.00. Tujuan kami ialah tempat bermalam, yakni Desa Cibeo, Baduy Dalam.
Jembatan perbatasan Baduy Luar dengan Baduy Dalam |
Tepat saat Maghrib, kami sampai di perbatasan Baduy Luar dengan Baduy Dalam. Pembatasnya adalah jembatan bambu dengan sungai jernih yang mengalir di bawahnya. Jembatan ini lumayan panjang, dan setelahnya hanyalah hutan yang jauh dari rumah penduduk.
Panorama menuju Cibeo, Baduy Dalam |
Di perbatasan inilah dimulai larangan yang terkenal itu. Dilarang mengambil gambar, video dan rekaman suara. Dilarang pula mandi menggunakan sabun dan shampo. Karena hari sudah gelap, kami gunakan senter sebagai alat bantu penerangan.
Setelah melewati jembatan, kami sampai di "tanjakan cinta". Sebuah tanjakan yang kemiringannya lebih dari 45° dan panjangnya sekitar 500m. Kalau tidak salah sih, sebab yang saya rasakan begitu lama. Medan terjal berbatu dan tanahnya merah. Nyaris saya tidak kuat. Sebab memang berat rasanya. Jarang olahraga, napas turun-naik ditambah beban ransel yang lumayan berat. Haduuuh... Kalau aku menyerah, berarti aku kalah. Kalah oleh diriku sendiri.
Bulan sabit dan gemintang menatap dari langit. Saya kembali menatap mereka. "Wayah gini aku di sini mau ngapain? Apa yang ingin aku tahu dari Suku Baduy? Ah tidak, ini bukan sekadar memuaskan rasa penasaran tentang Baduy, tetapi ini adalah perjalanan mengalahkan egoku. Tidak ada jalan untuk kembali, jauh, jauh sekali. Hanya satu pilihannya: tetap maju!"
Saya istirahat beberapa kali. Mengatur napas dari hidung sebab kata Zaky bisa menguatkan jantung. Ya, aku mengikuti instruksi itu. Istirahat, jalan lagi, begitu seterusnya. Walaupun akhirnya aku harus tahu kondisi diriku. Mamat membawakan ranselku. Alhamdulillah.. sedikit beban berkurang.
Dari semua trek, tanjakan cinta itulah yang aku rasakan paling berat dilalui. Perjalanan terus berlanjut sampai kami menemukan saung ladang. Istirahat untuk menikmati jambu air yang mereka suguhkan.
Warga Baduy rupanya punya "saung ladang" yang mereka gunakan untuk istirahat saat berladang. Bentuknya sama seperti rumah di desa.
Pukul 19.48 kami tiba di Desa Cibeo. Inilah desa terluar Baduy Dalam. Semua rumahnya sama menghadap ke selatan. Dinding dari bambu, atap dari daun tirai. Bedanya, rumah-rumah di Baduy Dalam lebih luas dari di Baduy Luar. Pemukiman mereka sangat dekat dengan sungai. Hal yang wajar karena segala aktivitas mereka mulai dari mandi, memasak, mencuci menggunakan air sungai. Itulah sebabnya di Baduy Dalam kita tidak boleh menggunakan sabun, shampo, pasta gigi dan sebagainya. Kita juga tidak akan menemukan kamar mandi di desa ini. Sebab sungai sudah memberikan mereka segalanya. (*) Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentarmu di sini, jangan tinggalkan hatimu di sembarang tempat ^_^