Tentang kisah konyol dan inspiratif dalam rumah tangga

Jelajah Baduy (Part 5)

Jelajah Baduy (Part 5)
Foto di Baduy Luar bersama Pak Jaku dan Mbak Lia



Sore saat kami duduk-duduk di teras rumah, terdengar suara angklung. Rupanya anak-anak Baduy sedang berlatih memainkan angklung di balai desa. Kami menonton sambil melihat-lihat sekitar desa. Menjelang Magrib baru kembali ke rumah tempat menginap.

Ada sebuah area yang tidak dilalui orang. Bersih.  Ketika kami melewatinya, beberapa orang berteriak melarang kami. Rupanya area yang bersih itu milik Ketua Adat makanya tidak boleh dilewati. Ada tandanya kok, dua bambu berbentuk menyilang.


Malamnya kami berbincang-bincang dengan tuan rumah. Ada banyak pertanyaan dalam kepalaku yang butuh jawaban, tetapi saat sering mendapat jawaban "teu teurang. Ceuk karuhun kitu. Kumaha kolot weh (tidak tahu. Kata leluhurnya begitu. Gimana sesepuh saja). Bahkan ketika ditanya bagaimana cara ibadahnya itu pun terserah sesepuh saja.



Mengenai pernikahan, ada beberapa aturan yang wajib ditaati:


1. Pernikahan hanya boleh terjadi di antara sesama orang Baduy Dalam atau sesama Baduy Luar. Jika dilanggar, misalnya perempuan Baduy Dalam menikah dengan lelaki Baduy Luar maka warga asli Baduy Dalam harus keluar menjadi warga Baduy Luar.

2. Tidak ada batasan usia. Jika sudah suka sama suka, diserahkan kepada "juru basa" yang nantinya mengatur upacara pernikahan. Asalkan sudah ada "lamaran" dan seserahan berupa perabotan rumah tangga, pernikahan sudah sah. Sejak itu pula seorang anak perempuan resmi keluar dari rumahnya. Mengikuti suaminya.

3. Pernikahan biasanya dilangsungkan pada bulan Kalima, yakni saat musim panen tiba.

Warga Baduy mengenal ada 12 bulan, yaitu:

1. Sapar
2. Kalima
3. Kaenem
4. Kapitu
5. Kadalapan
6. Kasalapan
7. Kasapuluh
8. Habit Lemah
9. Habit Kayu
10. Kasa
11. Karo
12. Katiga

Mereka juga dilarang memakan bebek, sapi dan kambing. Tapi tidak dilarang mencintaimu kan? Eaaaaa

Lalu, mereka sangat yakin bahwa jika aturan dilanggar maka alam akan menghukumnya. Karena itu jangan heran kalau alam Baduy itu sangat asri sampai sekarang.

Jika Jokowi Datang ke Baduy, Akankah Berjalan Kaki?

Berawal dari ketakjuban kami akan kemandirian warga Baduy. Segala kebutuhannya terpenuhi oleh alam. Air, tanah, tanaman, semua tersedia dengan mudah. Mereka tidak butuh listrik, tidak butuh teknologi. Mampu bertahan hidup dari apa yang diberikan alam. Lalu kalau Jokowi sang Presiden datang ke Baduy akankah berjalan kaki atau naik pesawat?

Beliau tersenyum dan mengatakan bahwa siapapun kalau mau ke Baduy ya harus jalan kaki. Tidak ada landasan untuk pesawat. Lantas, bolehkah melintasi area terlarang milik Ketua Adat? Tentu saja tidak boleh. Jika hendak bertemu Ketua Adat ya harus bertemu di Balai Desa. Sungguh tidak ada perbedaan entah itu anak gunung, menteri, presiden sekalipun harus ikuti aturan.

Di ujung perbincangan, saya merasa ini bukan saatnya mencari semua jawaban dari ketidaktahuan warga. Tentang asal-usul Suku Baduy, mereka hanya tahu diri mereka lahir dan besar di tempat itu. Perbedaan Baduy Dalam dengan Baduy Luar pun mereka mengidentifikasikannya dari ikat kepala yang dipakai. Putih untuk Baduy Dalam, dan biru-hitam untuk Baduy Luar. Mungkin kalau ingin tahu banyak, bisa bertanya ke Ketua Adat. Saya hanya merasa, kedatangan kami ke sini bukan untuk meneliti tetapi sekadar bertamu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentarmu di sini, jangan tinggalkan hatimu di sembarang tempat ^_^