Tentang kisah konyol dan inspiratif dalam rumah tangga

22.51

Bebaskan, Tapi Tetap Waspada

by , in

Bebaskan, Tapi Tetap Waspada
Bermain di terowongan air

Bakda Zuhur saya janji ketemuan dengan sahabat sejak zaman kuliah. Sejak menikah dia tinggal di Jogja, ngikut suaminya. Tahun lalu kami sempat ketemu di terminal, hanya sebentar. Kali ini kebetulan bisa agak lama.

Bebaskan, Tapi Tetap Waspada
El sangat antusias main perosotan

"Ketemu di Taman Pintar aja, deket kok dari Pasar Beringharjo." Kata Aroh, karena saya sedang belanja di pasar yang juga dekat dengan Malioboro itu, menemani Bude.

Baru kali ini saya masuk ke Taman Pintar, taman bermain untuk anak. Ada banyak wahana permainan, yang gratis maupun berbayar. Tarifnya dari yang paling murah, Rp.3000,- sampai yang paling mahal 30 ribuan... Nah, karena anak Aroh belum 3 tahun, dan saya sudah cukup tua untuk pintar, heuheu... Jadi kami tidak masuk. Cukup menikmati taman gratis berupa perosotan dan taman air menari.

Bebaskan, Tapi Tetap Waspada

El Roya, anak Aroh ini sangat pemberani. Dia naik perosotan tanpa mau dibimbing. Tiap kali Aroh hendak membantunya El berteriak marah. Aroh khawatir anaknya lecet.

"Udah Roh, biarin aja. Dia ingin bebas bermain. Dia pemberani, rasa ingin tahunya besar. Kalau kamu terlalu khawatir, nanti dia jadi penakut. Apalagi dia kelihatan keras kepala, namanya juga anak pertama." Kataku. Aroh mengiyakan. Dia memang ibu yang protektif. Beda banget sama saya. Maklum, punya anak lelaki harus banyak maklum. Jatuh dan berdarah sudah jadi makanan sehari-hari. Hatiku khawatir, tapi lama-lama berusaha selow. Pulang sekolah bibirnya luka, berdarah. Katanya tak sengaja ketendang temannya. Oke .. nggak apa-apa kan? Udah diobatin belum? Jangan nangis ya... Begitulah anak-anakku. Laki-laki semua. 🤭

Bebaskan, Tapi Tetap Waspada

Bebaskan, Tapi Tetap Waspada
Taman  Pintar, cocok untuk wisata keluarga


Namun meski kita bisa selow menghadapi tingkah polah anak, tetap harus waspada. Seperti El yang pada akhirnya jatuh tersuruk di bawah perosotan. Bibirnya luka sedikit, dan Aroh mulai panik. Padahal anaknya tenang dan kembali main. Yang saat ditanya apa kabarmu El? Dia jawab, "Aku fine..."

Okeh, fine! Lalu kenapa kamu panik terus Roh? Kalem... Dia baik-baik aja...

El tertawa riang, aku jadi ikut senang. Melihatnya bermain dan mudah akrab dengan anak lain aku jadi bermimpi punya anak perempuan. Mungkin kalau suatu saat kesampean, khawatirku bakal ngalahin Aroh dah. Wkwkwkwk.....(*)
13.54

Masjid Jogokaryan; Viral dan Jadi Idaman

by , in
Masjid Jogokaryan; Viral dan Jadi Idaman
Masjid yang viral
Karena saldo kas selalu nol


Saldo kas masjid selalu nol adalah ciri khas Masjid Jogokariyan yang membuatnya viral. Masjid yang selalu makmur dengan berbagai macam kegiatan. Juga sholat lima waktu yang tidak pernah sepi jamaah. Bahkan di teras masjid tersedia banyak tikar jika jamaah membludak. Konon, setiap Ramadhan senantiasa disediakan 1000 porsi takjil gratis. Prinsipnya, masjid itu menghidupi jamaah. Bukan jamaah yang menghidupi masjid.

Disediakan pula makanan untuk tamu yang datang. Ini adalah masjid yang selalu buka 24 jam, dijaga oleh satpam dan terbuka bagi siapa saja. Masjid yang siapapun yang datang ke sini sepertinya jadi semangat beribadah.

Nah, kenapa kini menjadi viral? Jika disebutkan "Masjid Jogokariyan" hampir pasti yang tebersit adalah "ooooh... Masjid yang saldo kasnya selalu nol itu ya? Yang kalau kamu kehilangan sandal di situ, sandalmu akan diganti. Trus kalau kamu musafir kehabisan ongkos, bakal diongkosin?"

Mengapa hal-hal seperti ini viral dan semua orang bercita-cita punya masjid seperti itu juga di daerahnya? Masalahnya adalah saat ini masjid masih dianggap "hanya" sebagai tempat ibadah. Masih banyak juga masjid yang bangga dengan saldo kas yang jutaan atau malah puluhan juta tetapi tidak dimanfaatkan, hanya diendapkan. Di samping itu masih banyak yang kehilangan sandal di masjid, minta ongkos di masjid dianggap menipu, dll....sehingga ketika ada satu masjid yang benar-benar makmur, kita pun takjub.

Tentu Masjid Jogokariyan juga memiliki proses panjang untuk bisa sebagus ini. Yang kita lihat kan hasilnya. Entah prosesnya seperti apa. Menggerakkan masyarakat sekitar untuk gemar beribadah, bukan hanya kalangan tua tetapi anak-anak muda yang identik dengan senang-senang semata. Ini mereka bersinergi, untuk sama-sama memakmurkan masjid yang berada di Jl. Jogokaryan ini.

Semoga akan ada masjid-masjid Jogokaryan lain di daerah-daerah lain. Yang mengutamakan kemakmuran jamaahnya, baik secara lahir maupun batin. Bukan hanya saldo kas kosong yang kita ingat, tetapi memang beginilah seharusnya masjid. Sebagai tempat shalat, pusat pengajian, pusat pembelajaran dan "rumah" bagi jamaah. Sehingga keberkahannya bisa mengenai semua orang.(*)
14.41

Masjid Jogokariyan, Makmurnya Ditentukan Mulai dari Jamaah Subuh

by , in
, Makmurnya Ditentukan Mulai dari Jamaah Subuh
Jamaah Subuh yang terdiri dari lelaki dan
Perempuan. Baik tua maupun muda


Alhamdulillah atas izin Allah, hari ini bisa merasakan nikmatnya Subuh berjamaah di masjid yang fenomenal ini. Sudah banyak diberitakan media bahwa Masjid Jogokariyan adalah masjid yang sangat makmur, baik dari jamaahnya maupun saldo kasnya yang selalu nol rupiah sebab digunakan untuk memberdayakan jamaahnya.

, Makmurnya Ditentukan Mulai dari Jamaah Subuh
Berfoto di halaman masjid



Biasanya masjid hanya buka di jam-jam tertentu. Tetapi Masjid Jogokariyan adalah pengecualian. Saya datang dari Serang menggunakan bus, ternyata sampai terminal Giwangan lebih cepat 4 jam. Mau pulang ke rumah saudara, belum ada bus yang beroprasi. Jadi saya putuskan untuk mengunjungi masjid ini pada pukul 2 pagi.

Saya kira akan sepi. Ternyata, ramai sekali. Bapak-bapak dan anak muda mungkin sedang giliran jaga atau usai solat Tahajud. Duduk-duduk di angkringan depan masjid. Saya dan adik meminta izin pada Satpam untuk istirahat sampai Subuh tiba. Kami dimintai KTP yang akan dikembalikan sebelum pulang nanti.

Merinding dan terharu sekali saya. Jamaah Subuh memenuhi masjid. Ruangan ikhwan dan akhwat penuh. Lelaki dan perempuan, tua-muda bahkan anak-anak berbaris dalam shaf yang rapi. Disediakan kursi untuk para lansia yang tidak kuat berdiri. Ya, di depanku persis seorang nenek salat menggunakan kursi. Duh.... Malu sekali saya, pasalnya jarang Subuh berjamaah di masjid.

, Makmurnya Ditentukan Mulai dari Jamaah Subuh
Halaman depan masjid


Usai salam, dilanjutkan dengan Majelis Subuh. Mendengarkan ceramah Ustadz tentang Umat Terbaik yang kelak akan dikenali oleh Nabi kelak di hari Kiamat.

Menjelang Syuruq majelis Subuh berakhit. Beberapa orang pulang, sebagian masih melanjutkan kajian. Ibu-ibu kajian tahsin. Bahkan ada seorang ibu yang setiap hari tidur di masjid. Datang tengah malam, pulang selepas pengajian. Masya Allah.

Ternyata sih masjid ini tidak begitu jauh dari rumah saudara di Jl. Parangtritis. Kami pun pulang... (*)
23.32

Pelajaran Penting dalam Film Kim Ji-Young yang Harus Perempuan Tahu

by , in



Hal pertama yang menarik dari Kim Ji Young Born 1982 adalah tentu saja karena pemeran utamanya Gong Yoo. Lama sekali dia nggak main film setelah berubah jadi zombie di Train to Busan lalu menitis sebagai Kim Shin alias Goblin. Sempat kesal karena sebelumnya nonton film "A Man and A Woman". Dia berperan sebagai suami yang punya istri depresi, lalu dia selingkuh. Gong Yoo, dikau tidak cocok jadi tukang selingkuh.

Di film Kim Ji Young, dia juga berperan sebagai suami yang istrinya menderita depresi. Pertanyaannya adalah: Kenapa setiap yang jadi istrinya itu jadi depresi? Hidup sama dia mungkin menyebalkan. Haha... Bedanya sih di film ini dia perhatian banget ke istrinya Kim Ji Young (diperankan oleh Jung Yu-mi) bahkan Dae Hyeon (Gong Yoo) yang inisiatif mendatangi psikiater dan menyuruh istrinya mendatangi psikiater juga.



Sekilas dari luar Kim Ji Young tampak normal. Tapi depresi post-partum itu memang nyata adanya kan? Bahkan dalam tingkat yang paling rendah sekalipun, mungkin sebagai perempuan kita pernah mengalaminya. Kim Ji Young tidak pernah menyakiti suami dan anaknya saat depresi itu kambuh. Dia hanya tampak seperti orang lain. Terkadang bersikap seperti ibunya, neneknya, bahkan sebagai kakak dan temannya. Bingung banget kan suaminya. Sampai mertua dan keluarga Ji-young juga heran.

Hal kedua adalah judulnya Kim Ji Young Born 1982. Kenapa pakai judul angka sih? Ternyata, ini menjadi plot penting yang menjadi antiklimaks bahkan pas di endingnya. Saya nggak akan spoiler kok tenang saja. Hehe.

Peran Berat Sebagai Istri dan Ibu


Pernahkah Mak, dikau merasa kehilangan dirimu? Eksis di rumah, jadi istri dan ibu tapi dirimu yang sebenarnya itu lenyap. Berubah menjadi "ibu" yang melakukan rutinitas dari pagi ke pagi selama 7 hari sepekan, berbulan-bulan dan bertahun-tahun terus saja berulang. Suami dan anak memanggilmu "ibu" tapi dikau tidak tahu "apa yang aku inginkan? Apa yang aku cita-citakan? Apa yang menjadi passion dalam hidupku." Kalau pernah, ya kita sama. Secara otomatis kita jadi "orang lain". Mungkin suami pun begitu. Dia berubah jadi suami dan ayah. Padahal sebelum menikah dia juga punya hobi dan teman-teman. Hanya, mungkin depresinya berkurang karena dia bekerja di luar rumah. Bertemu banyak orang. Kalau ibu?



Film yang diangkat dari novel ini kontroversial di negaranya. Katanya karena mengangkat tema feminis. Yah, memang  ada beberapa tokoh yang digambarkan sangat strong dan mungkin mengarah ke feminis. Mereka jadi wanita karier, tidak menikah dan ada yang tetap menikah tapi sering dibully karena dia adalah ibu yang bekerja di sektor publik. Tapi bukan itu poin utama film ini.

Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan saat ini memang semakin meningkat. Kaum perempuan yang dulu bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga biasa, sekarang banyak yang melakukan pekerjaan pria. Mereka bekerja di sektor publik, bahkan sebagian perempuan di sana mulai enggan menikah sehingga angka kelahiran pun menurun. Kalau kita perhatikan di setiap drama, seringkali diperlihatkan kehidupan yang serba bebas. Seks di luar nikah, kumpul kebo, itu jadi hal yang biasa di sana. Emansipasi wanita? Kesetaraan gender?

Miris sebenarnya, tapi bukankah fenomena ini ada juga di negara kita? Kaum feminis menginginkan posisi yang setara antara pria dan wanita. Ingin pula mengambil alih pekerjaan pria. Tidak jarang makanya kita temui, perempuan menjadi sopir bus, ojek, dll. Entah karena alasan yang berbeda-beda, perempuan ingin dipandang sama dengan kaum lelaki.

Pelajaran Penting dalam Film Kim Ji-Young yang Harus Perempuan Tahu



Maaf, tulisan ini bukan kampanye feminisme. Saya hanya ingin mengungkapkan bahwa apa yang dialami Kim Ji Young sangat mungkin dialami pula oleh kita. Perempuan muda, menikah, punya anak. Apa yang terjadi jika perempuan hanya bermodal harapan akan indahnya pernikahan? Dia akan terpuruk. Sebab pernikahan tidak akan seindah dongeng. Tanyakan pada mereka yang usia pernikahannya 10, 20 atau 30 tahun. Berapa liter air mata tertumpah selama menjalani peran sebagai istri dan ibu? Bukan berarti rumah tangga itu semenyeramkan penjara bawah tanah. Tapi realita.

Kalau pacaran hanya modal, "ayang bebeb". Maka menikah itu modalnya "duit." Realistis kan? Coba aja kalau si suami nggak kerja karena hanya modal "aylapnyu" yakin itu istri bisa bertahan? Tentu istri akan ambil-alih peran bekerja mencari nafkah atau langkah esktremnya adalah cerai. Betapa banyak kasus perceraian karena alasan "suami tidak menjalankan kewajibannya memberi nafkah".

Ada banyak faktor istri bekerja di sektor publik. Entah karena ingin tetap eksis, alasan ekonomi, atau ambisi.

Balik lagi ke pelajaran yang bisa kita ambil dari film ini, bahwa meskipun kita sudah menikah... Jangan pernah kehilangan jati dirimu! Jangan tinggalkan dirimu sendirian dalam kenangan atau kau akan mengalami depresi. Berdamai dengan diri sendiri.
"Ya memang aku sekarang sibuk mengurus suami dan anak. Waktuku tidak terlalu banyak untuk menjalani kesenanganku sendiri. Tetapi sesekali aku harus melakukan hobiku. Karena hobi akan menjadikan kita tetap waras dan bahagia."

Dan profesi yang rawan depresi itu memang sebagai ibu rumah tangga. 7 hari sepekan, sepanjang tahun tanpa cuti, tanpa gaji, tanpa hari libur. Tapi masih dinyinyirin gara-gara beli lipstik pakai uang suami. Padahal kan suami sendiri juga, bukan suami orang!

Kok, ibu-ibu jaman dulu nggak ada yang depresi? Eeeh jangan salah. Seandainya zaman itu sudah musim gadget bisa jadi curhatannya akan lebih cetar. Zaman sekarang lebih baik, ilmu bisa didapat dengan mudah. Zaman dulu, kalau ada tanda-tanda depresi, seseorang langsung dicap gila, gendeng, stress lalu dipasung supaya tidak berkeliaran. Kalau sekarang pakai istilah depresi post-partum atau bahasa lainnya, baby blues.

Apa hobimu? Apa cita-citamu? Jaga terus, rawat terus. Jangan sampai menghabiskan seluruh waktu untuk rumah tapi dengan keluhan, "aku tidak bisa jadi ini dan itu gara-gara sibuk mengurus suami dan anak."

Jangan begitu... Jangan pernah salahkan suami atau anak. Jangan pernah jadikan mereka sebagai alasan ketidakproduktifanmu.. Kau sibuk it's okay... Tapi itu bukan salah keluargamu! Mungkin kita yang belum pandai mengatur waktu, tapi ingat jangan salahkan siapa-siapa. Berdamailah dengan diri sendiri. Kalau pun tidak bisa mengerjakan hobi atau relaksasi yang istilahnya "me time" itu, ya karena KITA yang belum meluangkan waktu. Jadikan kita sebagai subjek. Jangan salahkan suami atau anak, sebab itu namanya playing victim.

Oya jadi kepikiran kenapa ibu-ibu zaman dulu cenderung lebih sehat? Ya karena mereka tidak punya gadget jadi waktu luangnya untuk ketemu tetangga, kendurian, arisan, ngobrol lansung dengan manusia. Bukan nyinyirin postingan teman. Mereka juga menjalani hobi seperti merajut, menyulam, membuat kerajinan tangan, atau bekerja membantu suami. Entah di sawah, berdagang di pasar, atau menjahit.

Percayalah, meski kita bangga dan bahagia menjadi istri dan ibu, kita akan jauh lebih waras dan bahagia kalau tetap menjadi diri sendiri juga. Hobi, passion, cita-cita. Tiga hal itulah yang akan menjadi penyeimbang dalam sebuah hubungan.

Maka hal sebaliknya juga berlaku. Kalau suami sesekali main futsal, main game, mabar, kumpul dengan teman-temannya, kita harus dukung. Sebab yang perlu kewarasan bukan hanya kita, suami juga. Memangnya suami nggak rawan stress kalau setiap hari menghadapi kita yang suka ngomel-ngomel, manja, ingin dimengerti, dan bla bla bla lainnya? (*)
15.25

5 Hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Memutuskan Untuk Trip ke Baduy

by , in
5 Hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Memutuskan Untuk Trip ke Baduy
Pintu Masuk Baduy via Ciboleger


Saat ini ada banyak sekali postingan di sosial media tentang tempat wisata dan mereka menawarkan jasa Open Trip. Salah satunya wisata ke Baduy. Penting untuk diketahui sebelum kita salah memilih destinasi berkunjung. Sebab jika melihat postingan banyak orang sih Baduy itu indah banget gaes. Sebuah desa yang asri, nyaman dan penduduknya masih memegang erat tradisi leluhur. Nah, sebelum kamu benar-benar memutuskan untuk jalan-jalan ke Baduy, ada baiknya simak dulu nih beberapa tips ala emakbaper.

02.03

Jelajah Baduy (Part 6)

by , in



Jelajah Baduy (Part 6)
Jembatan Akar, Baduy


Hari terakhir di Baduy, saatnya pulang gaes... Tapi kami mau melewati satu destinasi menarik nih, yaitu Jembatan Akar. Jembatan yang menghubungkan dua sisi sungai, terbentuk dari akar pohon yang saling terjalin rapi sehingga membentuk jembatan. Di bawah jembatan ada sungai yang mengalir jernih. Di tepi sungai ada bebatuan yang asyik untuk berfoto.

Jelajah Baduy (Part 6)
Jembatan Akar
Terbuat dari jalinan akar secara alami


Perlu waktu 3 jam untuk sampai ke sini dari rute Cibeo. Seperti biasa medannya menanjak dan sesekali terjal juga. Namun melihat pemandangan yang serba hijau, lelah menjadi tidak terasa. Terlebih lagi setelah sampai di Jembatan Akar, semua kelelahan itu sirna.
21.06

Jelajah Baduy (Part 5)

by , in
Jelajah Baduy (Part 5)
Foto di Baduy Luar bersama Pak Jaku dan Mbak Lia



Sore saat kami duduk-duduk di teras rumah, terdengar suara angklung. Rupanya anak-anak Baduy sedang berlatih memainkan angklung di balai desa. Kami menonton sambil melihat-lihat sekitar desa. Menjelang Magrib baru kembali ke rumah tempat menginap.

Ada sebuah area yang tidak dilalui orang. Bersih.  Ketika kami melewatinya, beberapa orang berteriak melarang kami. Rupanya area yang bersih itu milik Ketua Adat makanya tidak boleh dilewati. Ada tandanya kok, dua bambu berbentuk menyilang.
19.13

Jelajah Baduy (Part 4)

by , in

Jelajah Baduy (Part 4)
Berfoto bersama Pak Jaku, warga Baduy Dalam di jembatan perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam


Hari kedua di Baduy Dalam, sesuai rundown kami akan menjelajah seluruh desa di Baduy Dalam. Hanya ada tiga desa yakni Cibeo (yang kami tempati semalam), Cikertawarna dan Cikeusik. Nggak tahu kenapa yah, medan yang kami lalui banyak terjalnya. Iya sama, kayak hati kamu yang sulit aku taklukkan. Eaaaa.

Setelah sarapan dan menyiapkan perbekalan (nasi, ikan asin, air minum, nutri**ri, madu, apel, dan jangan lupa permen) kami siap menjelajah. Belum apa-apa sudah nanjak-nanjak. Tapi karena kemarin sudah pemanasan jalan kaki lima jam, sekarang terasa lebih ringan. Jalan setapak dengan jurang di kanan kiri jalan, tanah berbatu, berkerikil dan semak-semak. Sesekali terdengar kicauan burung. Sejauh mata memandang hanya perpaduan hijau dan biru. Saya sungguh takjub melihat alam seperawan. Kabarnya, warga Baduy dilarang menjual tanahnya kepada orang luar Baduy. Pun, orang luar negeri dilarang masuk Baduy. Meskipun hanya Baduy Luar! Jadi kalau misalnya kamu punya suami oppa-oppa Korea gitu yah, jangan diajak honeymoon ke Baduy. Kasihan. Masa kamu masuk Baduy, suamimu ngemper di terminal? Ajak aja ke Turki. Hehehe...

Sejam kemudian sampai di Desa Cikertawarna. Sebuah desa pertengahan, yang hanya ada sedikit rumah dengan jarak tidak terlalu berdekatan. Saat kami melintas, para bapak sedang membuat atap dari daun tirai. Saya merasa sikap mereka tidak seramah warga Desa Cibeo. Wajar, karena jarang ada tamu bermalam di sini, dan sebenarnya mereka risih dengan keberadaan orang asing.

Jelajah Baduy (Part 4)
Suasana desa yang asri


Lanjut lagi menuju Desa Cikeusik. Harap maklum jika tidak ada foto atau video yang menunjukkan lokasi Baduy Dalam. Meskipun rasanya ingiiiiin sekali untuk sekadar memotret ilalang dan langit biru, tetapi kita menghormati aturan adat ya. Karena kita tamu di situ, jadi sebisa mungkin menghormati tuan rumah. Walaupun tidak ada penjaga yang akan menghukum jika kita melanggar, alangkah baiknya jika kita menghormati aturan mereka.

Jelajah Baduy (Part 4)
Jalan menanjak dan berbatu

Di jalan kami bertemu dengan Pak Jaku, warga Baduy Dalam yang biasa menjadi guide. Jadi kami bersama-sama jalan menuju perbatasan. Dan yaaaaa perbatasan Baduy Luar dengan Baduy Dalam adalah pertanda bahwa kami boleh ambil gambar dan video. Yeaaaay! Bahagia itu sederhana banget. Namanya juga dua hari tanpa gadget kan?

Jelajah Baduy (Part 4)
Perbukitan yang dijadikan ladang oleh penduduk Baduy


Setelah memasuki kawasan Baduy Dalam lagi, ponsel kami matikan kembali. Melihat Desa Cikeusik dari atas bukit itu seperti sebuah desa yang dipagari gunung yang hijau. Di sinilah terasa sekali alam dan manusia hidup berdampingan dengan harmoni. Sungai mengalir jernih, pohon serba hijau, langit begitu biru. Ini seperti gambaran desa dalam pelajaran IPS.

Namun, penduduk Desa Cikeusik jauh lebih "hening" daripada Cikertawarna. Kami senyum tidak dibalas, kami menyapa tidak dijawab dengan ramah. Para wanitanya langsung masuk rumah, dan anak kecil menangis tatkala melihat kami. Ya, merek sangat risih dengan orang asing. Bahkan untuk solat saja kami merasa sungkan. Khawatir menyinggung perasaan mereka yang beragama Sunda Wiwitan.

Sebagai tamu, please banget jaga kesopanan. Kami temui juga tamu yang berjalan sambil makan eskrim melewati penduduk tanpa permisi. Saat melihat mereka, terhentaklah kesadaran kami. Oh iya. Kalau kita yang dibegitukan, pasti tidak senang juga. Maka wajarlah mereka bersikap tidak ramah pada tamu yang datang. Saya yakin bukan karena mereka memang aslinya tidak ramah. Tetapi risih lebih tepatnya. Sama rasanya seperti kita yang sedang melakukan sesuatu, lalu orang asing bertanya detail tentang itu. Padahal Googling sendiri juga bisa.

Akhirnya kami solat di teras rumah yang terbuat dari susunan bambu utuh. Setelahnya kami pulang dan istirahat sejenak di saung sambil makan nasi bekal kami. Tenaga telah pulih, kami kembali ke desa. Total 6 jam jalan kaki. Yeah! (Bersambung)
14.57

Jelajah Baduy (Part 3)

by , in
Jelajah Baduy (Part 3)
Warga Baduy Dalam berjalan kaki tanpa alas kaki


Tenang dan damai, kira-kira begitulah gambaran sebuah desa. Ada desa yang sudah mirip kota, ada desa yang lebih modern karena sentuhan teknologi dan komunikasi. Namun di Baduy Dalam, segalanya seirama. Bentuk rumahnya sama, menghadap sama-sama ke arah selatan. Terbuat dari gedek dan bambu serta atap daun tirai. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain tidak ada yang lebih bagus atau berlomba menjadi paling bagus. Kecuali rumah Ketua Adat/Puun yang memang istimewa tetapi tetap terbuat dari bahan yang sama. Hanya lebih luas dan berbeda sedikit.

Keseharian warganya sama-sama berladang. Sejak pagi sampai sore hari, kaum ibu pergi ke ladang sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Yang agak besar disuruh jalan membawakan bekal. Kaum bapak juga sama berladang, meskipun ada pula yang menjadi guide dan pedagang souvenir. Ketika sore tiba, mereka pulang ke rumah. Malam digunakan untuk istirahat.

Kalau di kota, satu orang beli kulkas dan motor baru, tetangganya panas. Di Baduy Dalam semua itu tidak mungkin terjadi. Listrik saja tidak masuk sini. Mau nyolokin steker di mana? Kalau sudah malam ya tidur. Makan seadanya saja. Air minum masak sendiri dengan mengambil airnya di sungai dekat rumah menggunakan potongan bambu yang dilubagi bagian atasnya. Perkasanya wanita Baduy, mampu mengangkat beberapa tempat air sekaligus. Sambil gendong anak di depan, sambil bawa beban di belakangnya.

Pernah dengar bahwa perempuan Baduy cantik-cantik? Ya, benar sekali! Cantiknya natural, padahal setiap hari mandinya tidak pakai sabun atau lulur. Skincarenya cukup bedak dan lipstik tetapi kecantikannya mengalahkan artis yang nggak bisa ngupas salak. Lalu saya tanya, kalau untuk perawatan wajah, pakai apa ya? Rupanya, pakai daun honje! Elaaaah itu yang biasa batangnya kita bikin sambal combrang....

Jelajah Baduy (Part 3)
Anak Baduy Dalam, sejak kecil sudah terbiasa jalan kaki menjelajah hutan

Lelaki Baduynya juga ganteng-ganteng. Mereka kuat berjalan kaki tanpa pakai sandal ke man-mana. Keliling Baduy tanpa lelah, bahkan kalau harus keluar Baduy juga tanpa alas kaki. Ke Jakarta? Ah sudah biasa. Telapak kaki mereka sudah 'kapalan' sehingga sudah menjadi seperti sol sepatu. Kuat menahan panas dan hujan. Sejak kecil mereka sudah terbiasa menjelajah hutan. Demi bertahan hidup, demi keahlian lelaki mencari nafkah demi keluarganya.(*)
06.32

Jelajah Baduy (Part 2)

by , in


Jelajah Baduy (Part 2)
Jalan di Perkampungan Baduy Luar


"Treknya mirip Gunung Lawu." Ujar Frili, mengomentari medan yang kami lalui. Perkampungan dengan rumah yang seragam, dengan jalan naik-turun, jarang landainya. Bahkan yang aku rasakan sih terus mendaki. Berangkat dari Kampung Gajebo pukul 16.00. Tujuan kami ialah tempat bermalam, yakni Desa Cibeo, Baduy Dalam.

Jelajah Baduy (Part 2)
Jembatan perbatasan Baduy Luar dengan Baduy Dalam

Tepat saat Maghrib, kami sampai di perbatasan Baduy Luar dengan Baduy Dalam. Pembatasnya adalah jembatan bambu dengan sungai jernih yang mengalir di bawahnya. Jembatan ini lumayan panjang, dan setelahnya hanyalah hutan yang jauh dari rumah penduduk.

Jelajah Baduy (Part 2)
Panorama menuju Cibeo, Baduy Dalam


Di perbatasan inilah dimulai larangan yang terkenal itu. Dilarang mengambil gambar, video dan rekaman suara. Dilarang pula mandi menggunakan sabun dan shampo. Karena hari sudah gelap, kami gunakan senter sebagai alat bantu penerangan.

Setelah melewati jembatan, kami sampai di "tanjakan cinta". Sebuah tanjakan yang kemiringannya lebih dari 45° dan panjangnya sekitar 500m. Kalau tidak salah sih, sebab yang saya rasakan begitu lama. Medan terjal berbatu dan tanahnya merah. Nyaris saya tidak kuat. Sebab memang berat rasanya. Jarang olahraga, napas turun-naik ditambah beban ransel yang lumayan berat. Haduuuh... Kalau aku menyerah, berarti aku kalah. Kalah oleh diriku sendiri.

Bulan sabit dan gemintang menatap dari langit. Saya kembali menatap mereka. "Wayah gini aku di sini mau ngapain? Apa yang ingin aku tahu dari Suku Baduy? Ah tidak, ini bukan sekadar memuaskan rasa penasaran tentang Baduy, tetapi ini adalah perjalanan mengalahkan egoku. Tidak ada jalan untuk kembali, jauh, jauh sekali. Hanya satu pilihannya: tetap maju!"

Saya istirahat beberapa kali. Mengatur napas dari hidung sebab kata Zaky bisa menguatkan jantung. Ya, aku mengikuti instruksi itu. Istirahat, jalan lagi, begitu seterusnya. Walaupun akhirnya aku harus tahu kondisi diriku. Mamat membawakan ranselku. Alhamdulillah..  sedikit beban berkurang.

Dari semua trek, tanjakan cinta itulah yang aku rasakan paling berat dilalui. Perjalanan terus berlanjut sampai kami menemukan saung ladang. Istirahat untuk menikmati jambu air yang mereka suguhkan.

Warga Baduy rupanya punya "saung ladang" yang mereka gunakan untuk istirahat saat berladang. Bentuknya sama seperti rumah di desa.

Pukul 19.48 kami tiba di Desa Cibeo. Inilah desa terluar Baduy Dalam. Semua rumahnya sama menghadap ke selatan. Dinding dari bambu, atap dari daun tirai. Bedanya, rumah-rumah di Baduy Dalam lebih luas dari di Baduy Luar. Pemukiman mereka sangat dekat dengan sungai. Hal yang wajar karena segala aktivitas mereka mulai dari mandi, memasak, mencuci menggunakan air sungai. Itulah sebabnya di Baduy Dalam kita tidak boleh menggunakan sabun, shampo, pasta gigi dan sebagainya. Kita juga tidak akan menemukan kamar mandi di desa ini. Sebab sungai sudah memberikan mereka segalanya. (*) Bersambung
22.39

Jelajah Baduy (Part 1)

by , in
Jelajah Baduy (Part 1)
Foto bersama Kang Yayat dan istrinya, Teh Sani. Warha Kampung Gajebo, Baduy Luar


Selama ini Baduy bagiku penuh misteri. Mendengar cerita orang Baduy seperti ini, seperti itu, belum terbayang bagaimana kenyataannya. Ketika ada kesempatan untuk jelajah Baduy 3 hari 2 malam, inilah kesempatan bagus untuk melihatnya dari dekat.

Saya mulai dari stasiun Serang, ambil jadwal pkl. 07.32. Harga tiket Rp 3.000. Sampai di Stasiun Rangkasbitung satu jam kemudian. Lalu dilanjutkan naik angkot carteran menuju Ciboleger. Per angkot dikenai Rp 250.000 sekali jalan.

Kami bertujuh satu rombongan dari berbagai daerah. Saya dari Serang. Frili, Mamat dan Fathir dari Jatim. Mas Joko dari Jogja. Mbak Lia dari Jakarta, dan Zaky dari Bogor. Sampai di Ciboleger sekitar 1,5 jam kemudian. Sholat Zuhur, lalu belanja logistik untuk dimasak oleh tuan rumah di Baduy nanti. Berupa beras, garam, kopi, gula, sarden, ikan asin, minyak, susu, mi instan dan bumbu sambal. Sebenarnya mau lauknya apa saja juga boleh kok. Selama tidak merepotkan.

Rombongan kami dipandu oleh Kaldi, warga Baduy Luar yang akan menemani kami selama tiga hari jelajah Baduy. Dia baru 17 tahun. Dia pula yang membawa logistik dengan cara dipanggul.

Perjalanan dimulai! Sebelum masuk Baduy, jangan lupa bayar biaya retribusi dulu ya. Murah, cuma Rp 4.000 per orang. 

Ciboleger adalah kampung terluar Baduy Luar. Lokasinya sangat dekat dengan pemukiman warga non-Baduy. Kanan kiri jalan adalah rumah warga yang disibukkan dengan aktivitas menenun dan menjual souvenir Baduy berupa kain tenun, pakaian khas Baduy, slayer, gelang rotan, madu dsb. Di sini kita masih sangat boleh ambil dokumentasi. Bebas asal sopan.

Jelajah Baduy (Part 1)
Gula kawung/aren


1 jam berjalan kaki dengan medan mendaki dan jarang menurun, kami sampai di Kampung Gajebo. Istirahat di rumah Kang Yayat, saudara Kaldi. Disuguhi air minum yang menyegarkan, gula aren, jambu air dan kopi, gula serta tehnya. Warga Baduy memang terkenal dengan gula kawung/arennya. Rasanya lebih sedap daripada gula merah biasa. Dicampur dengan air, bisa mengembaliman stamina setelah sejam berjalan kaki. (Bersambung)